Kamis, 01 Mei 2014

Riview : KERJASAMA INTERNASIONAL DI BIDANG HUKUM PERDATA



Riview : KERJASAMA INTERNASIONAL DI BIDANG HUKUM PERDATA
Andreas Bintoro Dewanto
Dosen Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi-Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK
Uraian ini berusaha menunjukkan arti penting gagasan Kollewijin tentang unifikasi Hukum Perdata Internasional. Sudargo Gautama sangat mendukung perwujudan gagasan ini. Bagi dia, keikutsertaan Indonesia dalam konverensi-konverensi Internasional bukanlah masalah gengsi akan tetapi masalah kebutuhan nyata. Amerika Serikat memberikan sumbangan besar dalam penerimaan Konvensi tentang Administrasi Nasional dari warisan-warisan dan konvensi tentang Product Liability.

LATAR BELAKANG
 Dalam pidato Dies Universitas Indonesia pada tanggal 10 Februari 1973, Sudargo Gautama mengingatkan kembali kepada gagasan yang pernah diucapkan oleh Kollenwijn 44 tahun sebelumnya. Gagasan kollewijn ini bnyak dibicarakan oleh para pakar lainnya dan bahkan prinsip-prinsip yang dikedepankannya itu diterima dalam lingkungan kerjasama unifikasi di bidang hukum perdata internasional pada Konverensi Hukum Perdata Internasional di Den Haag.
            Dalam bidang Hukum Perdata mengenal dua prinsip yaitu:
1.      Prinsip nasionalitas yang mengkaitkan status personil seseorang kepada hukum nasionalnya. Artinya hukum yang ditentukan oleh kewarganegaraannya.
2.      Prinsip domisili yang menentukan bahwa domisili atau tempat kediaman seseorang menurut hukumlah yang menentukan status personilnya.

Banyaknya sistem hukum perdata innternasional sama dengan banyaknya Negara yang merdeka didunia ini. Sistem hukum yang dianut di tiap Negara bersifat nasional dan seringkali berbeda atau bertentangan satu sama lain. Ada dua cara unifikasi yang kita kenal ialah:
1.      Mengunifikasikan seluruh sistem hukum Negara-negara yang turut menandatangani suatu konvensi yang berkaitan dengan masalah inifikasi ini.
2.      Menyeragamkan kaidah-kaidah hukum internasionalnya saja. Untuk masalah tertentu dipakai kaidah-kaidah hukum perdata internasional yang sama, maka persoalan hukum perdata internasional akan diselesaikan dengan seragam.

PEMBAHASAN
Unifikasi HPI suatu Usaha yang Mulia
            Usaha untuk mewujudkan Unifikasi Hukum Perdata Internasional telah dimulai sejak tahun 1893 di Den Haag. Konverensi-konverensi HPI di Den Haag pada mulanya masih bersifat konverensi diplomatik untuk menjajaki kemungkinan mengadakan unifikasi kaidah-kaidah HPI.  
            Banyaknya kaidah yang tercantum dalam konvensi yang diterima oleh konverensi-konverensi Den Haag, diikuti bukan sja oleh Negara peserta, tetapi juga Negara yang bukan peserta. Dibawah ini dituliskan beberapa konvensi yang bertujuan melancarkan lalu lintas hukum internasional (rechtsverkeer):
1.      Convention on the taking of evidence aboard in Civil or Comemersial matters (1986).
2.      Convention relating to civil procedure (1954).
3.      Convention on the Service Aboard of Judical and Extrajudicaial document incivil or commercial matters (1965).
4.      Convention abolishing the requirement of legilisation for foreign public documents (1961).
5.      Convention on the recognition ang execution of foreign judgements in civil and commercial matters (1966) and Supplementary Protocol.
6.      Convention on Testamentary dispositions (1961).
7.      Convention on the choice of court (1965).

Indonesia dan Konverensi Hukum Perdata Internasional Den Haag XI
            Indonesia untuk pertama kalinya turut serta sebagai pengamat dalam Konverensi Den Haag XI untuk HPI. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Sudargo Gautama dan anggota lainnya ilah Teuku M. Radhie, Situmorang, Ko Swan Sik. Ada 4 komisi dalam siding XI Konverensi Den Haag ini yaitu:
1.      Komisi I           : Konvensi tentang pengakuan perceraian dan hidup terpisah.
2.      Komisi II          : Tentang hukum yang berlaku untuk kecelakaan Internasional.
3.      Komisi III         : Tentang cara-cara pembuktian diluar negeri.
4.      Komisi IV         : Tentang maslah-maslah umum dan di masa yang akan dating.
Konvensi- konvensi hasil kerja komisi tersebut kemudian dituangkan dalam Final Act yang ditanda tangani oleh semua  anggota yang hadir, termasuk juga pengamat dari Indonesia. Prof. S., Gautama berpendapat bahwa kita perlu memperhatikan dan mengkaji dengan seksama semua hasil inifikasi konverensi-konverensi HPI Den Haag dan memilahkan mana yang dapat diterima dan dimanfaatkan Negara kita.
Dengan bertambahnya keanggotaan timbullah optimism untuk mencapai unifikasi sedunia pada peraturan Hukum Perdata Internasional. Secara operasional, tujuan ini  hendak dicapai melalui konvensi internasional di kalangan anggotanya.

Pilihan Hukum dalam Perjanjian Internasional
            Sejak adanya penanaman modal asing di Indonesia, sejak itu adanya suatu perjanjian yang bersifat internasional yang termasuk dalam Hukum Perdata Internasional.

Pilihan Hukum
            Pada awalnya orang menyepakati bahwa dalam perjanjian internasional, hukum yang berlaku ialah hukum yang dipilih oleh para pihak sendiri. Para sarjana semua setuju bahwa hukum telah dipilih oleh para pihak yang pertama-tama harus dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional.

Batas-batas
            Pilihan hukum ini ada batasnya, yaitu yang dikenal dengan istilah “ketertiban” dalam HPI. Ketertiban hukum ini ada batasnya, yaitu hanya dipakai sebagai perisai sebagai perisai bukan sebagai pedang.
           
Konverensi Hukum Perdata Internasional Den Haag XII (1972)
            Pada Konverensi Hukum Perdata Internasional ini, Indonesia masih sebagai pengamat. Para pihak banyak berharap bahwa nantinya Indonesia akan menjadi anggota penuh. Semula konverensi Den Haag mempunyai tujuan untuk secara progresif mengadakan unifikasi dan kodifikasi Hukum Perdata Internasional.
Dibawah ini duraikan konvensi secara singkat yang penting hasil konverensi HPI Den Haag XII.
Konvensi tentang administrasi Internasional dari warisan-warisan. Konvensi ini merupakan hasil perjuangan yang lama, sebab sudah sejak tahun 1960 masalah ini telah disarankan untuk dibahas. Kesulitan pengurusan harta warisan timbul, karena pengaturan tentang hal ini di berbagai Negara berbeda-beda. Di Negara Common Law, pengadilan secara aktif mengurusnya, sedangkan di Civil Law, pengadilan bersifat pasif.

Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Products Liability
            Konvensi tentang products liability juga merupakan bukti sumbangan besar diberikan A.S di bidang HPI. Dalam konvensi Den Haag tahun 1972 tentang hukum yang berlaku untuk product liability ditentukan bahwa hukum yang berlaku ialah hukum intern dari Negara setempat terjadinya perbuatan melanggar hukum yang bersangkutan.

Konvensi tentang Pengakuan dan Pengakuan dan Pelaksanaan  dari Keputusan-keputusan Kewajiban Membayar Alimentasi
            Konvensi mengenai kewajiban membayar alimentasi ini merupakan kelanjutan dari konvensi 1956 yaitu konvensi mengenai persoalan hukum mana yang harus diberlakukan dan konvensi mengenai pengakuan dan pelaksanaan keputusan-keputusan alimentasi tersebut.

Daftar Pustaka
Gautama, S. (1983), Capita Selecta Hukum Perdata Internsional, Bandung : Alumni.
Gautama, S. (1985), Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Bandung : Alumni.
Gautama, S. (1986), Indonesia Dan Arbitrase Internasional, Bandung : Alumni.
Gautama, S. (1987), Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jakarta : Binacipta.
Gautama, S. (1987a), Hukum Perdata Internsional Indonesia_,Jilid II bagian 2 Buku kedelapan, Bandung : Alumni.
________, Majalah Interview, Edisi 19,30 Januari 2001.

Almat URL: http://blognyaekonomi.files.wordpress.com/2013/06/8-15-1-pb.pdf

Nama Anggota Kelompok:
1.      Aristya Grace Novanda (21212154)
2.      Agustiarini (20212406)
3.      Melisa Maria (24212545)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar